I Made Wiryana: Memahami Arti Merdeka

Seringkali terdengar suara miring nan sumbang dari pakar/selebritis TI ketika ada peluncuran distro lokal. Apalagi, bila media menempelkan “karya anak bangsa”, suara sumbang bernada sindiran pun makin muncul. Ada kesan bahwa membuat distro itu pekerjaan kurang menantang, dan pencapaian teknisnya minim sehingga tidak perlu dibanggakan.

Bagi mereka yang bersuara sumbang itu, membuat distro diartikan sekedar memilih paket dan menjalankan alat bantu dan “Voila!, Sim salabim”, jadilah distro tersebut. Apalagi, sekarang banyak perangkat bantu remaster yang tersedia sehingga makin bertambah orang yang menganggap bahwa membuat distro itu pekerjaan anak kecil yang tidak perlu dibanggakan, terutama diberitakan.

Tentu saja, suara tersebut biasanya santer terdengar dari tokoh yang dibesarkan oleh dan dalam lingkungan produk proprietary sehingga kurang memahami pentingnya kebebasan dalam membuat dan menentukan produk. Biasanya, semuanya sudah tersedia dan terpaket sesuai dengan yang ditentukan oleh vendor proprietary, sedangkan dalam pembuatan distro, yang menentukan itu adalah kita sendiri. Di sinilah ada nilai tambah yang sering tidak dipahami oleh mereka yang tidak pernah menentukan kebutuhannya sendiri.

Membuat distro, sepintas lalu, terlihat mudah secara teknis, apalagi kalau hanya me-remaster. Namun, ada beberapa hal yang sebetulnya merupakan tantangan teknis dan nonteknis yang tidak dapat diremehkan begitu saja. Perlu diketahui, saya mengalami me-ngoprek distro sejak belum ada tool seperti remaster sejak zaman Linux From The Scratch. Beberapa hal positif saya rasakan dari upaya pembuatan distro lokal ini.

Pertama, dari sisi nontekniks. Keinginan untuk membuat suatu produk yang berawal dari kebutuhan sendiri merupakan nilai positif ditengah-tengah masyarakat yang dalam penerapan TI-nya didominasi dengan keinginan “belanja barang jadi”. Semangat inilah yang harganya mahal dan merupakan pencapaian yang sangat positif. Bayangkan saja, dari biasanya yang hanya berpikir untuk belanja, sekarang harus berpikir yang mana yang cocok dan cara membuatnya menjadi cocok. Membangun mentalitas berani menentukan sendiri adalah hal yang sulit sekali dilakukan di dunia proprietary.

Kedua, pembuatan distro lokal ini merupakan wujud dari fenomena desentralisasi pengembangan teknologi informasi. Bayangkan saja, sebelum era Open Source ini, jangankan di tingkat Pemda, di tingkat nasional saja tidak pernah terpikirkan dapat mengkustomisasi perangkat lunak sistem operasi sehingga sesuai dengan yang dibutuhkan, termasuk dari sisi bahasa yang digunakan. Apakah vendor proprietary bersedia membuat SO berbahasa Banyumas-an ?

Membuat distro membutuhkan pemahaman tentang struktur sistem, konfigurasi, dan juga beragam perangkat lunak uang harus disertakan serta memahami keinginan pengguna. Membuat distro sebetulnya tidak sesederhana yang dibayangkan para pakar. Pembuatan distro juga diangkat menjadi Master Thesis, “NixOS: A Purely Functional Linux Distribution”, di Universitas Utrecth.

sumber:
Info Linux Edisi 10/2012 Hal 13. I Made Wiryana, Memahami Arti Merdeka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *